Dinamika Pendidikan Tinggi: Mahasiswa dan Keterasingannya dalam Budaya Akademik
Eureka Pendidikan. Agent of change, merupakan salah satu sebutan yang disematkan pada mahasiswa. Namun, sebutan tersebut sering direduksi menjadi sebatas aksi heroik yang berbau emosional. Padahal sebutan tersebut disematkan pada mahasiswa, karena mahasiswa merupakan bagian dari civitas akademik pendidikan tinggi, yang secara hakiki memiliki peran dalam pengembangan keilmuan. Pengembangan keilmuan tersebut bukan berarti menjadikan perguruan tinggi sebagai menara gading yang lepas dari dinamika yang ada di sektarnya, melainkan melalui pengembangan keilmuan tersebut, perguruan tinggi bertanggung jawab terhadap dinamika masyarakatnya. Sehingga agent of change menempatkan mahasiswa sebagai bagian dari perguruan tinggi yang melakukan perubahan terhadap kemajuan masyarakat dengan landasan keilmuan.
Ketika nama mahasiswa dan berbagai sebutan lain yang mengikutinya itu disematkan pada seseorang maka yang terbayang adalah aktivitasnya akan disibukkan dengan belajar . Sehingga dengan belajar itu ia memiliki potensi untuk menguasai suatu disiplin ilmu secara teoritik maupun praktik. Dengan demikian melalui status mahasiswanya, ia memiliki peluang untuk mengembangkan dirinya melalui dinamika perkuliahan dan juga yang tidak dipungkiri adalah pengembangan diri di bidang pekerjaan kelak yang didukung oleh adanya bukti fisik hasil belajar (baca: ijazah). Sehingga bukan menjadi sebuah hal yang mengherankan apabila melihat setiap tahunnya banyak orang yang mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi melalui berbagai jenis ujian masuk. Di sisi lain orang tua dengan perasaan bangga dan menaruh harap mengantarkan anak-anaknya untuk melanjutkan kuliah bahkan hingga ke luar kota dan harus terpisah jarak dengan orang tua dalam waktu yang cukup lama. Fakta yang terjadi bukanlah sebuah hal yang patut dinilai salah atau benarnya, karena secara naluriah manusia memiliki harapan untuk memiliki kehidupan yang baik.
Dinamika terkait mahasiswa menjadi suatu hal yang selalu menarik untuk dibahas, karena di antara realitas positif yang dibangun oleh kebanyakan orang terhadap dinamika mahasiswa, rupanya pada saat yang sama mahasiswa menjadi target dari budaya populer yang dewasa ini semakin berkembang. Budaya populer ini terwujud dalam bentuk mall, bioskop, foodcourt, café, club, dan tempat hiburan sejenisnya. Selain itu fashion yang senantiasa berkembang, seperti model berpakaian, model jilbab, menempatkan mahasiswa sebagai ikon yang menyuburkan fashion itu sendiri. Sehingga tanpa disadari, mahasiswa telah mengalami kekerasan simbolik karena melekatnya wujud dari budaya populer tersebut dalam diri mahasiswa. Secara tidak langsung, mahasiswa dikenalkan pada sifat konsumtif terhadap bentuk-bentuk budaya populer. Wujud dari budaya populer tersebut memang bukan menjadi suatu hal yang salah sekali, jika diposisikan sebagaimana mestinya dan tidak menggeser budaya akademik yang secara hakiki sebenarnya sangat melekat pada mahasiswa. Karena, perangkat budaya populer tersebut selain menyuburkan sifat konsumtif, hal tersebut memiliki kecenderungan untuk menjadikan mahasiswa berjiwa hedonis.
Pada akhirnya, ketika budaya populer dengan ciri konsumtif dan hedonisnya menjadi lebih dominan dari budaya akademik (kritis, kreatif, objektif, analitis, konstruktif, dinamis, dialogis, menerima kritik, menghargai prestasi ilmiah/ akademik, bebas dari prasangka, menghargai waktu, memiliki serta menjunjung tinggi tradisi ilmiah), maka secara tidak langsung mahasiswa telah terasingkan dari dunia intelektualnya. Sehingga aktivitas yang semestinya menjadi proses bagi perkembangan intelektual mahasiswa, menjadi sekedar rutinitas belaka tanpa adanya semangat sebagai seorang intelektual untuk mengembangkan keilmuan. Sehingga yang muncul adalah dua hal yang kontradiktif, yakni aktivitas hakiki yang dijalankan namun pada proses dan hasilnya tidak sesuai dengan hakikat yang semestinya dijalankan. Keterasingan intelektual tersebut juga sebenarnya dapat menjangkiti mahasiswa yang sebenarnya telah berupaya menjalankan aktivitas kemahasiswaannya, namun dalam menjalankan aktivitas tersebut hanya dipahami secara pragmatis, sebatas pemenuhan sebuah tuntutan. Aktivitas-aktivitas yang pada hakikatnya melekat pada seorang mahasiswa, namun pada akhirnya hanya sekedar rutinitas dapat dipahami sebagai berikut:
Membaca: Antara Pemenuhan Kewajiban dan Penguat Landasan Dasar Keilmuan
Mahasiswa tidak lepas dari buku-buku yang membahas beragam hal, namun pada umumnya buku-buku yang mahasiswa baca berkaitan dengan disiplin ilmu yang dipelajari. Hal tersebut tentunya kita asumsikan bahwa ia akan memahami disiplin ilmunya dengan baik. Namun, menjadi sebuah hal yang anomali ketika mahasiswa gemar mengumpulkan beragam buku, namun buku-buku tersebut sama sekali tidak memberi makna baru bagi pengembangan wawasannya. Mengumpulkan banyak buku memang secara kasat mata, telah menjadi indikator sederhana bahwa ada upaya dalam diri seseorang untuk memahami ilmu pengetahuan itu. Namun, menjadi sebuah hal yang aneh, ketika buku-buku yang dikumpulkan tidak tercermin dalam aktivitasnya. Atau dalam kata lain pembaca kurang dapat memahami makna dari kumpulan kata yang ada pada kumpulan buku-buku tersebut. Hal ini menjadi sebuah koreksi tersendiri, karena sebagai akademisi sudah semestinya aktivitas membaca bukan sekedar menjadi pemenuhan tuntutan tugas kuliah semata melainkan melalui buku-buku itulah dasar pembangunan kerangka berpikirnya. Sehingga melalui landasan dasar yang kuat dari beragam teori yang tersaji dalam buku-buku tersebut, mahasiswa dapat menilai sebuah realita yang terjadi berdasar pada teori. Bahkan melalui pemahaman akan landasan teori yang kuat, mahasiswa mampu mengembangkan makna dari teori tersebut untuk menjawab sebuah permasalahan misalnya. Dan bahkan, bagi seorang mahasiswa yang dipadati dengan buku-buku dalam rak-rak kamarnya dapat belajar secara perlahan untuk menilai atau mengoreksi antara buku yang satu dengan yang lain. Sehingga aktivitas membaca bukan sekedar menjadi pemenuhan kewajiban menyelesaikan tugas kuliah semata. Namun bagi mahasiwa, membaca menjadi sebuah langkah untuk membangun pondasi keilmuan yang kuat sebagai seorang intelektual.
Menulis Sebagai Wujud Refleksi Berpikir
Dalam sebuah buku dikatakan bahwa menulis di tingkat perguruan tinggi merupakan aktivitas keseharian bagi mahasiswa. Namun, aktivitas ini terkadang menjadi sulit untuk dilaksanakan karena adanya kesulitan dalam menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan yang tersusun secara sistematis dan menggunakan bahasa yang baku. Namun, yang perlu dipahami aktivitas menulis bagi mahasiswa merupakan sebuah hal yang bermaksud untuk memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menuangkan ide gagasannya. Karena kerunutan dalam penulisan ilmiah mampu menggambarkan kerunutan dalam cara berpikir. Sehingga menulis bagi mahasiswa dipahami sebagai wujud refleksi atas cara berpikirnya. Dengan demikian, aktivitas tersebut sebenarnya menempatkan otak secara lebih bermartabat karena digunakan untuk memikirkan hal-hal yang semakin membuatnya berkembang dan berdayaguna. Dengan adanya bukti fisik berupa tulisan, maka mahasiswa akan dengan mudah mengevaluasi tingkatan berpikirnya, keluasan pengetahuannya. Dengan demikian, yang akan tercipta adalah aktivitas menulis menjadi semakin tajam dari waktu ke waktu. Jika menulis dipahami sebagai wujud refleksi berpikir dari hasil bacaan atau informasi yang didapat, maka seharusnya mahasiswa akan alergi dengan penyakit plagiatisme penulisan yang selama ini menjadi penyakit kaum akademis.
Diskusi: Tidak Sama dengan Kuliah
Diskusi dalam lingkungan perguruan tinggi menjadi sebuah aktivitas guna merefleksi hasil pemikiran, disamping membaca dan menulis. Melalui diskusi diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan hasil pemikirannya secara verbal. Diskusi secara tidak langsung juga membantu mahasiswa berlatih menuangkan argumentasi secara lebih terstruktur dengan padanan kata yang rapih. Hal ini menjadi sebuah nilai tersendiri bagi mahasiswa, karena aktivitas ini mampu memberikan pengalaman pada mahasiswa untuk tampil sebagai seorang akademisi dalam menilai sebuah realita. Diskusi melatih mahasiswa berbicara di ruang-ruang akademis karena bagaimana pun dinamika yang melekat pada mahasiswa adalah dinamika keilmuan yang memerlukan kecakapan berbicara tersendiri. Sehingga ruang-ruang diskusi sebenarnya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menempa kemampuannya dalam menyampaikan argumentasinya. Berdiskusi juga secara tidak langsung melatih mahasiswa menjadi pribadi yang terbuka, pribadi yang mudah menerima masukan baik berupa saran maupun kritik. Sehingga aktif berada di forum-forum diskusi seharusnya semakin menunjukan perubahan-perubahan yang ada pada diri mahasiswa sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan berani, disamping perkembangan argumentasi-argumentasinya yang lebih dapat diterima secara teoritik maupun empirik dengan analisis yang lebih mendalam.
Aktif Berorganisasi: Aktivitas Organisasi Mahasiswa Tidak sama Dengan Event Organizer Organisasi mahasiswa menjadi sebuah lembaga yang mewarnai dinamika mahasiswa di perguruan tinggi. Organisasi mahasiswa ada karena berangkat dari kebutuhan, minat mahasiswa sehingga mampu menunjang mahasiswa dalam mengembangkan kapasitas diri, terutama dalam wilayah soft skill, yang memang kurang dikembangkan ketika mahasiswa berada di ruang kelas. Namun, pada dewasa ini tidak sedikit pula yang menerjemahkan organisasi mahasiswa menjadi wadah untuk mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan semata. Maksudnya, organisasi mahasiswa akhirnya terjebak sebatas pada penyelenggaraan kegiatan semata guna menunjang eksistensi organisasi mahasiswa tersebut. Hal inilah yang perlu dipahami lebih mendalam, karena pada dasarnya organisasi mahasiswa sangat jauh berbeda dari event organizer yang secara pasti melaksankan kegiatan ketika pada waktu-waktu tertentu. Aktivitas organisasi mahasiswa jauh melampaui penyelenggaraan acara-acara semata. Kegiatan yang ada di organisasi mahasiswa bukanlah menjadi suatu hal yang utama namun, kegiatan hanya menjadi jembatan bagi mahasiswa dalam pengembangan kapasitas diri mahasiswa.
Organisasi mahasiswa memiliki fungsi lebih dari sekedar penyelenggara kegiatan, karena ada tanggung jawab di dalamnya sehingga mahasiswa yang aktif di dalamnya dapat memperoleh pengalaman lain yang tidak ia dapatkan ketika berada di kelas. Pribadi-pribadi yang berada dalam organisasi mahasiswa semestinya memiliki kecakapan tersendiri yang jauh melampaui kecakapan teknis dalam penyelenggaraan kegiatan. Kecakapan yang dapat dikembangkan dalam organisasi mahasiswa, misalnya meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kedewasaan dan kematangan dalam bersikap, meningkatkan kreativitas dan yang tak kalah penting adalah meningkatkan prestasi berdasarkan latar dari organisasi mahasiswa tersebut. Sehingga ketika terdapat organisasi mahasiswa yang menganjurkan calon anggota organisasi mahasiswa memberikan tugas tertentu seperti menuliskan sebuah esai terkait tema tertentu, bukanlah menjadi hal yang sulit dan menjadi sebuah beban. Karena pada dasarnya kecakapan berpikir dan bertingkah lakulah yang berupaya dikembangkan oleh organisasi mahasiswa.
Dinamika yang dibangun oleh pendidikan tinggi pada dasarnya memberikan peluang pada mahasaiswa untuk mengembangkan keilmuannya. Namun, menjadi suatu hal yang aneh apabila dinamika yang dibangun oleh pendidikan tinggi tersebut justru dianggap asing oleh mahasiswa. Mahasiswa menjauhkan diri terhadap dinamika pengembangan keilmuan karena yang dipahami hanya sebatas aspek pragmatis dari pendidikan tinggi. Tidak sedikit mahasiswa yang memaknai pendidikan tinggi hanya sebatas jenjang pendidikan lanjutan yang memungkinkannya mendapatkan ijazah. Terlebih lagi semakin tumbuh suburnya budaya populer yang menjangkiti dinamika mahasiswa, semakin mengasingkan mahasiswa dengan budaya yang seharusnya melekat padanya yaitu budaya akademik. Bentuk dari keterasingan mahaiswa tersebut sebagaimana yang telah diuraikan, terwujud dalam bentuk aktivitas pembelajaran yang jauh dari esensi pembelajarannya. Dengan demikian, aktivitas yang ada dalam pendidikan tinggi sudah semestinya menjadi refleksi bagi mahasiswa untuk memahami esensi dari pembelajaran di pendidikan tinggi. Sehingga harapan yang muncul adalah generasigenerasi bangsa lulusan pendidikan tinggi benar-benar mampu mengaktualisasikan keilmuannya bagi perkembangan masyarakatnya.
Yogyakarta, 16 Oktober 2014