Eureka Pendidikan. Dalam menerapkan kurikulum, sebuah Negara pada umumnya memiliki model pengembangannya masing-masing. Beberapa ahli telah mengemukakan beberapa jenis model pengembangan kurikulum. Model sendiri berkaitan dengan teori yang membahas mengenai kurikulum dan operasionalisasinya secara umum. Melalui adanya model pengembangan kurikulum ini, dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembanagn kurikulum atau sebagai acuan dalam memahami penerapan kurikulum di sebuah Negara. Berikut akan dibahas mengenai beberapa model pengembangan kurikulum, diantaranya:
1. Model Pengembangan Kurikulum Tyler (1970)
Tyler menyatakan bahwa, terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum diantaranya, berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; pengalaman belajar untuk mencapai tujuan; pengorganisasian pengalaman belajar; dan berhubungan dengan pengembangan evaluasi. Model kurikulum yang dikembangkan mengacu pada pola sentralistik. Sehingga tujuan kurikulum yang dimaksud oleh Tyler berkaitan dengan tujuan dari pendidikan yang hendak dicapai sekaligus berkaitan juga dengan teori pendidikan yang dianut oleh Negara tersebut.
Secara umum, Tyler menggambarkan beberapa model kurikulum, diantaranya: Discipline Oriented, kurikulum ini digunakan apabila tujuan yang hendak dicapai adalah kemampuan akademis dari peserta didik. Kurikulum ini mengorientasikan agar peserta didik menguasai disiplin keilmuan. Sehingga keberhasilan pendidikan atau kurikulum diketahui melalui hasil belajar peserta didik terhadap disiplin keilmuannya. Selain itu, Tyler memperkenalkan model Child Centered, berkaitan dengan kurikulum yang memusatkan diri pada peserta didik. Model ini dikenal lebih humanis dibandingkan Diciplin Oriented karena orientasinya tidak hanya sekedar pemahaman peserta didik terhadap keilmuan melainkan berorientasi pada pengembangan kepribadian serta keterampilan peserta didik. Berbeda pula dengan Society Centered, yang mengorientasikan pada perkembangan masyarakat ke arah yang lebih baik. Sehingga pendidikan dalam hal ini tidak dilepaskan dari dinamika masyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Apa yang diperoleh oleh pendidikan digunakan sebesar-besarnya untuk pengembangan masyarakat. Selain itu, masyarakat pun dilibatkan dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Kemudian, apabila berbicara mengenai pengalaman belajar yang Tyler maksudkan adalah agar kurikulum mengorientasikan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami materi pelajaran yang ia dapatkan. Sehingga melalui pengalaman yang dimilikinya, ia akan dapat mengembangkannya secara berkelanjutan. Point tersebut berkaitan pula dengan pengorganisasian pengalaman belajar. Guru harus memikirkan dan merencanakan pengalaman belajar apa yang hendak diberikan pada peserta didik. Pengalaman belajar yang teroganisir akan membantu peserta didik dalam memahami materi pelajaran yang dipelajarinya.
Secara sederhana, pengalaman belajar sendiri dibagi menjadi tiga bentuk, yakni pengalaman belajar mental yang berkaitan dengan pengembangan pengetahuan peserta didik; pengalaman belajar fisik yang berkaitan dengan pengembangan pengetahuan dan keterampilan peserta didik; dan pengalaman belajar sosial yang berkaitan dengan aktivitas belajar yang diberikan dengan dinamika sosial, sehingga apa yang dipelajari ketika ia berada di sekolah tidak terlepas dari dinamikanya sehari-hari. Dengan pengalaman belajar ini, harapan yang muncul adalah peserta didik memiliki pengetahuan juga untuk menjawab masalah yang dialaminya sehari-hari. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa guru seharusnya menentukan pengalaman belajar yang sesuai sehingga dapat membantu siswa materi pelajaran.
Selanjutnya, Tyler mengingatkan mengenai evaluasi. Evaluasi memegang peran yang besar dalam berjalannya sebuah program. Dalam hal ini, Tyler mengingatkan bahwa dalam pengembangan kurikulum perlu dilakukan evaluasi terhadap kurikulum yang telah diselenggarakan. Sehingga melalui evaluasi, akan diperoleh mengenai kekurangan dan kelebihan dari kurikulum yang telah dijalankan. Melalui evaluasi ini juga, pemerintah akan mampu menentukan kurikulum yang tepat yang dapat dikembangkan dalam rangka perbaikan kurikulum sesuai dengan hasil evaluasi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa evaluasi kurikulum bukan hanya berkaitan dengan evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik semata melainkan evaluasi juga menyentuh seluruh aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan kurikulum tersebut.
2.Model Pengembangan Kurikulum Taba
Hilda Taba mengembangkan kurikulum yang didasarkan dari lapisan bawah (Grassroots). Karena Taba mempercayai bahwa kurikulum akan lebih efektif dan efisien apabila dibuat oleg guru dan bukan dari pengambil kebijakan. Model pengembangan kurikulum Taba ini bukan hanya mempertimbangkan kebutuhan dari peserta didik semata, melainkan juga mempertimbangkan bahwa sekolah sebagai organisasi pengalaman belajar. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum menurut Taba adalah tujuan yang hendak dicapai karena nantinya akan berkaitan dengan proses dan bentuk evaluasi yang digunakan.
Taba juga menjelaskan lima langkah dalam pengembangan kurikulum yang tepat, yakni: a) Mendiagnosis kebutuhan peserta didik dan menentukan proses pembelajaran yang akan dijalankan, b) Menguji materi terlebih dahulu, sehingga akan diperoleh informasi apakah materi tersebut dapat dipahami oleh peserta didik atau tidak, c) Proses pembelajaran sebaiknya dapat dimodifikasi sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, d) Memastikan agar lingkup pengembangan kurikulum sudah terpenuhi, e) Memberikan sosialisasi dan pelatihan pada guru-guru agar dapat mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas.
3.Model Pengembangan Kurikulum Zais (1976)
Robert S. zais mengemukakan delapan model kurikulum. Berikut beberapa model kurikulum yang dikembangkan oleh Zais. Namun, pada tulisan ini hanya akan diuraikan dua contoh dari model kurikulum yang dikembangkan oleh Zais, diantaranya:
a. Kurikulum Administrasi
Kurikulum administrasi pada umumnya dikenal dengan nama kurikulum top-down, karena kurikulum ini berasal dari pemegang kekuasaan (pemerintah) yang kemudian diberlakukan bagi seluruh sekolah atau lembaga pendidikan formal yang berada di seluruh wilayah Negara tersebut. Kurikulum top-down ini pada umumnya digunakan oleh Negara yang menganut sistem pendidikan sentralistik atau terpusat. Sehingga seluruh administratif kependidikan disediakan oleh Negara, sedangkan sekolah-sekolah yang ada di daerah-daerah hanya menjalankan administratif yang telah diberikan oleh Negara. Dengan demikian, kurikulum ini diberlakukan secara nasional dan mengabaikan kemampuan serta kebutuhan daerah atau sekolah.
Pada umumnya, Negara yang masih menggunakan kurikulum model ini adalah Negara yang mengharapkan pendidikan nasionalnya diselenggarakan secara seragam. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa Negara yang menggunakan model kurikulum ini adalah Negara yang masih memiliki sistem pengajaran yang rendah, karena sekolah dan guru-gurunya belum dianggap mampu mengembangkan pembelajaran secara operasional. Di samping itu, kurang percayanya pemerintah pada kompetensi daerah untuk mengontrol operasionalisasi dari kurikulum.
Kurikulum administratif biasanya dirumuskan oleh beberapa pakar dalam skala nasional, kemudian melibatkan beberapa staf ahli. Melalui staf ahli kemudian kurikulum disebarluaskan pada skala sekolah pada setiap wilayah melalui pelatihan-pelatihan berkala agar kurikulum dapat dipahami secara massif.
b.Kurikulum Grassroots (Akar Rumput)
Berbeda dengan kurikulum administratif, kurikulum akar rumput merupakan kurikulum buttom-up atau kurikulum yang berangkat dari bawah ke atas. Sehingga dipahami bahwa kurikulum ini dikembangkan oleh daerah atau sekolah secara mandiri. Kurikulum ini pada umumnya digunakan pada Negara yang telah menganut sistem pendidikan nasional yang desentralistik, atau menyerahkan pengembangan kurikulum pada daerah.
Pada umumnya desentralisasi tersebut diberlakukan berdasarkan keresahan di tingkat daerah atau sekolah terhadap kurikulum yang jika diberlakukan secara umum dapat menghambat pertumbuhan daerah karena tidak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah. Namun, kurikulum dengan desentrlasasi ini hanya dapat dilaksanakan apabila daerah atau komponen sekolah telah memiliki kemampuan dalam pengembangan pembelajaran. Sehingga komponen yang ada di sekolah perlu memahami konsep kurikulum, teori pembelajaran dan landasan-landasan operasional pendidikan lainnya agar kurikulum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Beberapa Negara yang menerapkan sistem pendidikan desentralistrik dengan kurikulum akar rumput ini, pada dasarnya bukan berangkat dari keresahan terhadap sistem pendidikan yang sentralistik. Beberapa Negara menunjukkan bahwa, desentralisasi pendidikan perlu dilaksanakan karena situasi sosial budaya yang terjadi di Negara tersebut mengharuskan adanya pengembangan kurikulum dalam skala daerah. Sebagai contoh adalah Spanyol, yang menyelenggarakan desentralisasi sebagai upaya menyelesaikan perang saudara.
4.Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp (1986)
Beauchamp menyatakan terdapat lima hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yakni: a) Menentukan wilayah, dalam hal ini perlu diketahui terlebih dahulu wilayah yang akan menerapkan kurikulum apakah dalam skala nasional, daerah tertentu atau bahkan hanya sekolah tertentu, b) Menentukan pihak-pihak yang akan berperan dalam merancang kurikulum, baik secara konseptual dan secara operasionalnya. Sehingga pihak-pihak yang dipahami dalam hal ini bukan hanya berkaitan dengan pengambil kebijakan, melainkan melibatkan praktisi atau pihak-pihak yang berhadapan langsung di lapangan (sekolah). Dengan demikian, kurikulum yang akan dikembangkan dapat dipahami secara menyeluruh, c) Menetapkan organisasi dan prosedur yang akan ditempuh. Dalam hal ini perlu dikembangkan isi dari kurikulum yang akan dikembangkan, dengan cara merumuskan tujuan umum, tujuan khusus, d) Implementasi kurikulum, dalam hal ini tahap pengimplementasikan kurikulum perlu mempertimbangkan teknis dalam pengimplementasiannya agar dapat dipahami konsep dan operasionalisasinya oleh seluruh guru mata pelajaran. Pada umumnya, sebelum implementasi diselenggarakan terdapat sosialisasi dan atau pelatihan pengimplementasian kurikulum yang baru dikembangkan. Namun, hal tersebut perlu dipertimbangkan efektivitas dan efisiensinya, e) Melaksanakan evaluasi kurikulum, melalui informasi yang didapat dari guru-guru sebagai pelaksana kurikulum di dalam kelas; evaluasi desain kurikulum; evaluasi terhadap hasil belajar siswa berdasar pada kurikulum yang berlaku; serta evaluasi keseluruhan kurikulum.
5.Model Pengembangan Kurikulum Oliva (1988)
Oliva memberikan pemahaman bahwa kurikulum seharusnya bersifat sederhana, komprehensif, dan sistematik. Dalam hal ini, Oliva mengemukakan beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yakni: a) Menentukan filsafat yang digunakan; b) Menganalisis kebutuhan masyarakat, sesuai dengan wilayah kurikulum itu akan digunakan; c) Merumuskan tujuan umum dari kurikulum yanga akan dikembangkan; d) Merumuskan tujuan khusus, sebagai turunan dari tujuan umum; e) Menentukan cara pengimplementasian kurikulum; f) Menurunkan kurikulum dalam bentuk yang lebih operasional ke dalam tujuan mata pelajaran yang akan dipelajari; g) Merumuskan tujuan khusus pembelajaran; h) Menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan; i) Menetapkan teknik penilaian yang tepat untuk digunakan; j) Mengimplementasikan strategi pembelajaran; k) Mengevaluasi pembelajaran dan l) Mengevaluasi kurikulum.