Upaya Pembenahan Guru Hari Ini
Eureka Pendidikan. Berbicara mengenai perbaikan pendidikan nasional memang bukan hanya semata-mata berbicara mengenai guru. Masalah yang dihadapi pendidikan terlalu sederhana apabila hanya berbicara mengenai penyiapan guru. Namun, komitmen untuk mengembalikan guru pada kejayaan sejarah bangsa ini adalah hal yang juga perlu dipertimbangkan. Negara-negara maju seperti Jepang, Finlandia, Singapura telah membuktikan bahwa pendidikan dapat maju karena andil guru. Negara-negara tersebut tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, namun mereka sadar bangsanya harus tetap berdaya saing.
Kemajuan suatu Negara ternyata dipengaruhi pula oleh pengelolaan sumber daya manusianya yang harus direncanakan dengan profesional. Maka, pendidikanlah menjadi fokus utama dalam penyiapan SDM, termasuk penyiapan guru-guru. Sebagaimana yang dikutip dari Kompas (Sabtu, 12 Oktober 2013), Eero Ropo, Guru Besar Universitas Tampere, Finlandia, mengatakan keberhasilan pendidikan Finlandia karena berkomitmen menyediakan guru-guru profesional. Di Finlandia, guru dianggap profesi terhormat sehingga diminati anak muda. Pemilihan mahasiswa calon guru sangat ketat. Hanya 5 persen pelamar yang diterima untuk program pendidikan guru SD. Di program S-2 untuk guru bidang studi hanya 20 persen yang diterima. Sehingga dipahami, guru bukanlah profesi pilihan akhir dan penyiapan guru semata berbicara materil.
Masa silam telah menunjukan keagungan posisi guru. Karena tidak sedikit para pejuang yang luar biasa, rekam jejaknya pernah menjadi seorang guru. Hal tersebut menunjukan bahwa guru bukan sekedar pandai berbiacara, namun ada aspek pendidikan di dalam menekuni profesinya, membangkitkan potensi manusiawi peserta didik. Tugas guru tidaklah mudah, maka kita tidak hanya dapat berkutat pada aspek kuantitatif. Lingkaran kesesatan harus segera diputus, karena “pendidik tidak dapat memberikan sesuatu pada anak didiknya kecuali apa yang ada pada dirinya!”. Sehingga untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang agung, diperlukanlah guru yang juga mengarah pada tujuan pendidikan nasional itu.
Guru diagungkan karena kisah masa lalunya, tapi sekaligus dikritik karena performanya saat ini. Apabila benar kita berada di masyarakat terbuka seharusnya kita telah lebih peka pada kebutuhan hari ini dan tantangan masa depan. Sehingga diperlukan strategi-strategi yang lebih mendasar untuk menyongsong hari baru. Masyarakat sudah sepatutnya dibukakan pada sebuah pemahaman baru mengenai masyarakat yang terbuka. Dalam rangka menuju masyarakat terbuka demikian memang tidak dapat terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses. “Proses tersebut adalah proses pendidikan atau dapat juga disebut proses pemanusiaan.
Masyarakat madani tidak lahir dengan sendirinya karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda dengan masyarakat otoriter. Oleh sebab itu transisi dari masyarakat Orde baru yang serba otoriter dan sentralistis menuju kepada masyarakat demokratis yang mengakui akan hak-hak asasi manusia dan menghargai adanya perbedaan antar-anggotanya, memerlukan suatu proses melalui proses pendidikan (Tilaar, 2002: 21)”. Dalam hal ini membuka paradigma masyarakat menjadi sebuah hal yang mendasar, yakni melalui lembaga-lembaga sosialnya. Hal tersebut jugalah yang dilakukan oleh Paulo Freire yang mendengungkan pendidikan humanis. Dalam menerapkan pendidikan humanis, Freire menyertakan pendekatan pada masyarakat. Freire yang mendengungkan pendidikan humanis untuk melawan pendidikan gaya bank, juga menyertakan guru yang revolusioner, yakni guru yang mengajak rakyat berdialog. Guru tidak lagi ditempatkan sebagai yang paling benar.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya lembaga penyiapan guru mengoreksi diri. Sumber daya manusia yang berdaya saing dan bertekad mengembangkan negaranya bukan lagi menjadi sekedar khayalan. Karena sudah saatnyalah sumber daya alam yang melimpah diolah oleh tangan-tangan terampil yang cinta tanah air, bukan lagi tangan asing dengan jari-jemari kepentingan kalangan tertentu. Bukankah Irian Jaya telah menjadi peringatan keras dari penyiapan SDM yang sekenannya. Pulau yang memiliki hasil tambang yang melimpah, ternyata perguruan tingginya tidak menyediakan program studi yang mampu mengelola pertambangan. Kemudian, Raja Ampat yang merupakan wilayah dengan kekayaan biota laut terkaya di dunia, potensi-potensi alamnya dinikmati oleh investor asing sedangkan rakyatnya hidup miskin tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak mengerti mengelolanya. Akhirnya kekayaan alam bukan lagi menjadi hal potensial melainkan menjadi boomerang tersendiri yang sangat menyakitkan. Bukan tidak mungkin, hal yang sama pun terjadi di berbagai daerah di ibu pertiwi ini.
Oleh karena itu LPTK sebagai lembaga penyiapan guru sudah seharusnya berbenah diri untuk menyiapkan guru-guru yang profesional, yang mampu membukakan cakrawala ilmu pengetahuan sekaligus mentransformasikan nilai-nilai luhur bangsa. “Lembaga-lembaga pendidikan guru adalah lembaga pertama bagi peningkatan sumber daya manusia Indonesia masa depan. Oleh sebab itu, untuk kepentingan jangka menengah dan jangka panjang, lembaga-lembaga pendidikan guru haruslah mendapatkan prioritas utama di dalam pengembangannya dalam rangka upaya reformasi pendidikan nasional (Tilaar, 2002: 105)”.
Perbaikan LPTK dapat berbicara mengenai input awal mahasiswanya, mata kuliah yang kekinian sebagai penunjang proses pembelajaran, proses pembelajaran yang inovatif dengan berdasar pada kemasyarakatan sehingga proses belajar dapat menunjang pemahaman ketika berada di lapangan, kemudian yang tidak kalah penting adalah penelitian. Penelitian-penelitian terkait pendidikan sudah semestinya dikembangkan. Karena perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang berorientasikan pengembangan, bukan pengawetan ilmu-ilmu. Sehingga hasil-hasil penelitian dapat dikembangkan di sekolah-sekolah dan bukan hanya sekedar membicarakan mengenai masalah hasil belajar siswa dengan pengembangan teknologi dan metodologi semata. “Mengusahakan dihapuskannya metodologis, teknis dan teknologis yang berakibat dikorbankannya dasar-dasar falsafah pendidikan, misalnya metafisika antropologis, aksiologis, epistemologis, etika dan logika. Ini berakibat pada penggersangan ilmu pendidikan, dan tidak pada mempelajari peserta didik sebagai manusia. Kita tentu sepakat bahwa metodologi dan teknologi itu penting, tetapi kita pun perlu menyadari bahwa tidak ada metodologi yang dapat menjadi lebih baik dari guru yang baik (Surakhmad, 2008: 378)”.
Penyiapan guru akhirnya menjadi salah satu agenda perbaikan pendidikan nasional. Sejarah masa lalu dapat dijadikan pelajaran, namun tidak semuanya dapat dipergunakan hari ini. Guru memang akan tetap dihormati, namun penyiapannya harus lebih profesional karena yang dihadapi saat ini bukanlah penjajahan tetapi peningkatan kemampuan menalar, pengenalan akan potensi-potensi lokal dan nilai-nilai kebangsaan yang diharapkan mampu membangun Indonesia yang lebih baik.
Sertifikasi Guru: Peningkatan Penghargaan Pada Guru yang ilusif
Bukti dari upaya memperhatikan dan mengkualitaskan profesi guru adalah sertifikasi guru. Sertfikasi bagi guru seharusnya bukan menjadi satu-satunya bukti perhatian pada guru. Karena kenyataannya sertifikasi tidak berimbang dengan peningkatan mutu pendidikan. Peraturan bahwa guru harus mengajar 24 jam, menjadikan guru harus mengajar di lebih dari satu sekolah karena sekolahnya tidak dapat memberikan jam mengajar sebanyak 24 jam dalam seminggu. Sertifikasi baru akan dikeluarkan setelah lima tahun mengajar. Bahkan ada pula sekolah yang menahan sertifikasi guru, padahal telah lima tahun guru mengabdi di sekolah tersebut. Sedangkan guru yang telah sertifikasi tidak sedikit pula yang menunjukan kemewahannya, sehingga citra guru sebagai teladan yang sederhana perlahan luntur.
Sertifikasi guru yang dimaksudkan untuk meningkatkan penghargaan materil kepada guru serta meningkatkan kualitas guru dalam mendidik akhirnya menjadi pertanyaan. Karena tidak sedikit kejanggalan-kejanggalan yang ditemui. Hal tersebut seharusnya menjadi evaluasi, agar penghargaan terhadap guru dapat merata dan bukan semakin membebankan guru.
Penghargaan masyarakat dan pemerintah bukan berbatas pada sertifikasi guru yang akhirnya menjadi tujuan ketika terjun ke dunia pendidikan. Karena kesejahteraan guru tidak hanya melalui sertifikasi yang akhirnya semakin memperparah bukti kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan oleh dunia pendidikan. Muhammadiyah pernah membuktikan bahwa penghargaan pada guru dapat dilakukan melalui penjaminan kebutuhan hidup guru, dan hal tersebut terbukti efektif dalam mempertahankan kualitas guru. Hal tersebut dapat menjadi referensi sehingga tenaga-tenaga terdidik nantinya tidak mengorientasikan kesejahteraan pada uang semata. Dengan demikian, penghargaan masyarakat dan pemerintah pada guru seharusnya diwujudkan melalui hal yang esensi. Sehingga harapannya kelak akan muncul guru-guru yang betul-betul mencerdaskan anak bangsa dalam kerangka pendidikan yeng mengindonesiakan.
Sumber Bacaan:
Dhofier, Zamakhsyari. 1981. Tradisi Pesantren: Suatu Studi tentang Peranan Kiyai dalam Memelihara
dan Mengembangkan Ideologi Islam Tradisional. Majalah Prisma, 2 Februari 1981.
Freire, Paulo. 2013. Pendidikan Kaum Tertindas (Terj.). Jakarta: LP3ES
PGRI.2008.Seratus Tahun Perjuangan Guru Indonesia. Jakarta. PGRI dan Departemen Pendidikan
Indonesia
Surakhmad, Winarno.2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas
Tilaar, H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Topatimasang, Roem. 2013. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Insist Press
Kompas, 12 Oktober 2013. Belajar Dari Sistem Finlandia