Hal-hal yang berkaitan dengan rasa ingin tahu manusia sebenarnya telah banyak dikaji oleh berbagai disiplin ilmu. Kajian tersebut menjadi menarik karena mampu menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Kajian terkait rasa ingin tahu manusia beserta kebenaran yang diharapkan oleh manusia, pada umumnya dibahas dalam pengantar filsafat ilmu.
Filsafat ilmu menjadi dasar dalam memahami esensi dari rasa ingin tahu manusia dan kebenaran. Karena sering kali untuk memahami sesuatu terkait tahu dan kebenaran itu dikacaukan oleh terminologi-terminologi yang saling tumpang tindih yang akhirnya menyimpulkan kekacauan dalam mengartikan suatu hal. Sering kali dalam memahami tahu dan kebenaran, terkacaukan pemahaman terkait perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan; bagaimana indikator kebenaran itu. Maka, hal tersebut perlu dipahami secara mendasar agar dalam mengembangkannya tidak terjadi kesalahan secara teoritik.
Pemahaman terkait pengetahuan, ilmu pengetahuan, batasan ilmu pengetahuan menjadi landasan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena sebagai akademisi yang identik dengan keilmuan sudah sepatutnya hal paling mendasar tentang ilmu pengetahuan dipahami secara mendasar sebagai acuan dalam pengembangan-pengembangan keilmuan.
Terlebih bagi akademisi yang berada di bawah naungan pendidikan tinggi, hal mendasar yang telah dipahami menjadi landasan untuk mengembangkan keilmuan sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni. Dengan demikian, khasanah bacaan terkait keilmuan bukan lagi bersifat pengawetan sebuah teori melainkan pembaruan-pembaruan yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan. Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini berupaya membahas mengenai hakikat pengetahuan, ilmu pengetahuan, batasan ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran dalam sudut pandang ilmu.
A. Hakikat Pengetahuan
Secara biologis manusia memang diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, karena adanya berbagai kesamaan dengan hewan[1]. Namun, manusia dikatakan memiliki keunggulan terutama pada kecerdasannya. Karena hanya manusialah yang mampu menafsirkan alam semesta beserta interaksi-interaksi yang ada di dalamnya melalui rasa ingin tahu.
Banyak ilmuwan yang telah berupaya mengidentifikasi perihal kemamapuan manusia untuk “tahu” ini, contohnya melalui tinjauan otak manusia. Manusia itu mempunyai otak besar serta kulit otak yang paling sempurna tumbuhnnya dan paling banyak berliku-likunya. Ini menyebabkan bahwa ia menjadi suatu ‘binatang berpikir’, sehingga ia membuka kemungkinan-kemungkinan bagi kekuatan berpikir, daya mengangan-angankan, kesadaran dan keinsafan, kemampuan bicara, daya belajar yang sempurna sekali dan daya menggunakan alat.
Melalui penerjemahan tentang otak tersebut, ilmuwan mencoba memberikan kesimpulan bahwa rasa ingin tahu manusia dapat ada karena salah satunya didukung oleh fisiologi sel-sel otak manusia. Namun sejauh yang penulis ketahui, belum ada ilmu yang mampu menjelaskan lebih rinci mengenai kemampuan dan mekanisme kerja otak manusia yang dapat berpikir untuk tahu, menganalisis, mengingat, dan berangan-angan. Setidaknya biologi telah berupaya menjelaskan otak manusia tersebut, yang dapat memberikan informasi terkait rasa ingin tahu manusia.
Rasa ingin tahu yang ada pada manusia menjadikan manusia memiliki pengetahuan. Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Sedangkan secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Dalam penjelasan lain, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu[3].
Melalui dua pengertian di atas, dapatlah dipahami secara sederhana bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang manusia ketahui sebagai hasil dari proses mencari tahu. Pengetahuan menjadi sebuah hal yang luar biasa dalam peradaban manusia, karena melalui pengetahuanlah aspek-aspek dalam peradaban manusia berkembang yang kemudian seluruhnya dapat dibedakan berdasarkan ontologi, epistemologi dan aksiologinya[4].
Agar lebih sederhana dalam memahami pengetahuan ini, maka penulis menganalogikan dengan hal berikut: Anda adalah mahasiswa baru di sebuah Universitas, kemudian Anda ingin mengetahui perpustakaan Universitas tersebut. Oleh karena itu, Anda menanyakan pada seseorang, yang kemudian dengan informasi yang diberikannya Anda akhirnya tahu dan dapat menemukan perpustakaan Universitas. Informasi yang Anda tanyakan tadi akhirnya membantu Anda untuk menemukan perpustakaan Universitas. Informasi tentang perpustakaan Universitas yang baru Anda dapatkan tadi, itulah pengetahuan baru bagi Anda.
Manusia berpengetahuan bukan semata-mata untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya, melainkan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Pada masa lalu, manusia berupaya mencari tahu untuk mengetahui suatu hal, umumnya menggunakan cara-cara yang sederhana yakni melalui aktivitasnya dengan alam. Sehingga ia akan menemukan cara hidup yang sesuai dengan alam. Untuk dapat memahami tahapan pengetahuan, secara umum August Comte (1798-1857)[5] membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia dalam tahap religius, metafisik dan positif.
Tahapan tersebut jugalah yang ada pada peradaban bangsa Indonesia. Pada tahap pertama, asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua, orang mulai berspekulasi tentang metafisika (kebendaan) ujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif[6].
Berdasarkan tahapan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh August Comte, dapatlah dipahami bahwa pengetahuan manusia pada mulanya didasari dengan suatu sikap pasif terhadap alam semesta. Sehingga yang muncul adalah kepatuhan terhadap alam semesta dengan cara memujanya agar kebaikan-kebaikanlah yang didapatkan dari alam. Hal ini dapat diketahui melalui adat-istiadat beberapa masyarakat kita yang masih mengadakan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.
Secara sederhana masyarakat memandang lingkungan sekitarnya penuh dengan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, maka sistem pengetahuannya menyatakan bahwa semua itu adalah karunia sesuatu yang tidak tampak. Akhirnya kekompleksitasan yang ada pada alam semesta menjadikan manusia pada zaman dahulu mencoba menafsirkan alam semesta dengan mengkaitkannya pada wujud dan sifat-sifat manusia. Kemudian termanifestasikanlah ke dalam bentuk para dewa[7]. Karena pada dasarnya, setiap suku bangsa umumnya mempunyai cerita mitos yang merupakan hasil pemikiran masyarakat. Mitos mengandung unsur-unsur simbolik yang mempunyai arti dan pesan bagi hubungan sosial maupun kehidupan sehari-hari masyarakat.
Masyarakat Indonesia juga memiliki mitos sendiri yang berasal dari asimilasi paham animisme dengan paham Hindu dalam tindakan religius orang Jawa, akhirnya melahirkan berbagai bentuk dewa. Dapatlah dianalogikan perkembangan pengetahuan manusia menurut August Comte seperti ini, manusia yang hidup dengan mengandalkan alam seperti pertanian.
Sebagai contoh, masyarakat Jawa mempercayai bahwa melimpahnya tanaman yang tumbuh di tanah Jawa sebagai karunia Yang Maha Kuasa, yang diperoleh melalui pengorbanan seorang dewi, yaitu Dewi Sri[8]. Melalui pemahaman akan adanya sosok Dewi Sri tersebut, maka masyarakat menganggap tumbuhan yang melimpah adalah karunia sehingga memerlukan perlakuan yang baik. Maka, untuk menjaga agar tumbuhan tetap dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah, masyarakat menggelar ritual untuk “menyenangkan” dan menghormati Sang Dewi. Hal tersebut umumnya diselenggarakan dalam bentuk upacara-upacara pada proses penanaman padi, mulai dari pembenihan hingga panen bahkan ketika terjadi gagal panen.
Oleh karena itu, jika pada suatu waktu padi yang ditanam tiba-tiba menjadi mengering dan tidak memberikan hasil panen yang memuaskan, manusia menyimpulkan bahwa alam telah marah padanya karena kurang dimuliakan maka mulailah mereka kembali memuliakan alam melalui ritual-ritual tertentu[9]. Hal tersebut sebagai manifestasi dari pengetahuan manusia bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, maka manusia harus memulikan kekuatan tersebut agar kehidupan manusia dapat terjamin. Setelah itu, pengetahuan manusia terus berkembang, sehingga memandang fenomena tanaman yang tiba-tiba tidak produktif ternyata terjadi secara berkala, yakni pada suatu waktu tertentu[10].
Melalui pengalaman tersebut akhirnya manusia menyimpulkan bahwa bukan semata-mata alam marah jika tanaman tidak berproduksi melainkan hal tersebut terjadi karena suatu hal yang tidak nyata di alam namun memiliki pengaruh pada pertumbuhan tanaman, seperti musim. Akhirnya berdasarkan pengalaman manusia, pengetahuannya menyimpulkan bahwa ketika musim tertentu (kemarau) padi yang ditanam tidak akan membuahkan hasil. Dengan demikian pada tahap pengetahuan yang kedua ini, manusia mulai menafsirkan bahwa alam memiliki siklus musim dan jenis tanaman apa yang dapat ditanam pada musim tertentu. Namun, manusia belum dapat berbuat banyak karena hanya sekedar mengetahui adanya musim pengering. Maka, mereka memulai untuk mengantisipasi ketersediaan air melalui sistem irigasi secara sederhana.
Selanjutnya, di tahap akhir manusia menafsirkan alam berdasarkan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Manusia mencoba menafsirkan mengapa musim kemarau itu dapat terjadi dan pada dewasa ini cenderung tidak dapat terprediksikan. Sehingga seharusnya mereka dapat memanen hasil pertanian namun terkadang gagal panen karena kekeringan yang melanda. Pada tahap selanjutnya inilah, manusia mulai mengenal ilmu pengetahuan maka untuk menafsirkan fenomena alam yang tidak terprediksikan tersebut mulailah manusia meninjaunya secara lebih objektif atau berdasarkan kondisi alam itu sendiri.
B. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Pada umumnya, orang mengartikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan sebagai dua hal yang sama. Anggapan semacam itu tidaklah salah sepenuhnya, akan tetapi, pendapat semacam itu harus ditinjau lagi berdasarkan kaidah keilmuan agar dapat memahami sesungguhnya. Sebagaimana analogi yang telah dipaparkan, bahwa ilmu pengetahuan adalah tahapan atau bagian dari pengetahuan. Sehingga dapat dipahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu. Lebih tepatnya ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara etimologis berasal dari kata latin “scince”, artinya “to know”. Namun, pengertian science ini sering salah diartikan, dan direduksi berkaitan dengan ilmu alam semata padahal tidak demikian.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Pendapat lain menerangkan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya[11]. Melalui pendapat tersebut dipahami bahwa ilmu merupakan pengembangan dari pengetahuan yang memiliki aturan tertentu dan dapat diuji kebenarannya karena berkaitan dengan penafsiran suatu hal yang pada umumnya berlaku secara umum.
Science is the system of man’s knowledge on nature, society and thought. It reflect the world in concepts, categories and law, the correctness and truth of which are verified by practical experience[12],
Demikian pernyataan Afanasyef seorang ahli pikir Marxist berkebangsaan Rusia. Melalui penjabaran yang telah dikemukakan maka dapatlah dipahami bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (obyek/ lapangan), yang merupakan kesatuan yang sistematis dan memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal atau kejadian itu[13].
Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan, maka ilmu menunjukan perkembangan pengetahuan manusia yang telah tersusun secara lebih terstruktur dan dapat diuji kebenarannya oleh semua orang. Pada akhirnya alam semesta dapat diterjemahkan oleh manusia menggunakan cara-cara yang lebih sesuai dengan dinamika alam apa adanya. Berdasarkan kajian-kajian yang ada, maka penulis menyimpulkan bahwa ilmu sebagai bagian dari pengetahuan memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari pengetahuan lain, yaitu: logis, sistematis, universal dan empiris. Logis menunjukan bahwa ilmu dapat dijangkau dan diterima oleh nalar manusia.
Filsafat memilik sifat yang dapat teramati oleh indera manusia atau dapat dijangkau oleh alat-alat yang mampu membantu indera manusia dalam menafsirkan gejala alam. Sistematis menunjukkan pada sebuah hal yang runut, memiliki tahapan-tahapan yang jelas dalam memahaminya. Universal, bersifat menyeluruh yang berarti ilmu pengetahuan berlaku secara umum. Sedangkan empiris menunjukan bahwa semua orang dapat mengalami ilmu pengetahuan itu atau dapat mengembangkan ilmu tersebut.
Cerita tentang tanaman padi kita tadi yang tiba-tiba mengering secara tidak terprediksikan, pada akhirnya dapat dijelaskan secara lebih ilmiah oleh keilmuan. Fenomena tersebut dapat dijelaskan oleh biologi misalnya, karena padi yang tiba-tiba mengering sebelum masanya dapat terjadi karena adanya fenomena pemanasan global yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu dan meningkatnya suhu bumi sehingga menjadi lebih panas akibat kerusakan ozon[14]. Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab yang lebih ilmiah dan berlaku secara umum untuk menjelaskan faktor penyebab fenomena padi kita.
Setelah dipahami bahwa penyebab kekeringan itu adalah pemanasan global maka, ilmu jugalah yang mengembangkan solusi bagi pertanian. Kemajuan di bidang biologi sel dan molekuler[15] menjadikan para biologiwan dapat mengembangkan varietas tanaman dengan keunggulan tertentu. Biologiwan dapat menghasilkan tanaman padi yang lebih unggul dengan waktu produksi panen yang lebih singkat dan hasil yang baik.
Sebagai contoh adalah padi yang dihasilkan oleh BATAN atau lembaga pertanian. Karena padi yang dihasilkan terbukti memiliki keunggulan seperti masa panen yang pendek, tahan terhadap hama, tahan terhadap kondisi panas yang ekstrem. Dengan demikian solusi dari masalah kegagalan panen karena musim tadi, bukan hanya dapat diselesaikan melalui sistem irigasi sederhana melainkan dapat diantisipasi dengan adanya padi dengan varietas yang lebih unggul.
Ilmu merupakan hasil dari peradaban manusia yang semata-mata membantu memudahkan pekerjaan manusia. Dalam hal ini pekerjaan manusia bukan hanya aspek praktis semata melainkan ilmu berhasil menerjemahkan alam semesta yang berlaku secara umum. Sehingga setiap orang dapat memahami gejala-gejala alam secara serentak dan ilmu itu juga dapat digunakan oleh semua orang tanpa batas apapun. Maka, di akhir pembahasan mengenai hakikat ilmu ini dapatlah kita mengutip pernyataan berikut ini, “ilmu itu ibarat bis kota: memang tidak senyaman Mercy Tiger, tapi rutenya jelas dan jadwalnya dapat dipercaya. Jelas bukan tunggangannya nabi yang diberkahi wahyu atau seniman besar yang penuh ilham, namun kendaraan orang-orang biasa seperti kita”[16].
C. Batasan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan memiliki ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka apakah segala sesuatu yang terjadi pada manusia mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan? Ternyata jawabannya tidak. Karena ilmu pengetahuan memiliki batasan, seperti itu jawaban sederhananya. Namun, apakah batas dari ilmu itu?. Secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia[17].
Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari manusia, serta digunakan untuk menawarkan kemudahan pada kehidupan manusia. Melalui hal tersebut dapatlah dipahami bahwa ilmu berbatas pada sesuatu yang dialami manusia, karena pengetahuan yang belum dialami manusia berupaya dijelaskan oleh pengetahuan lain, seperti agama contohnya.
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya telah menghasilkan banyak hal dalam peradaban manusia. Bahkan seperti yang diketahui makhluk hidup yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang saja, dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop sebagai salah satu hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan. Lebih menakjubkan lagi, karena makhluk mikroskopik tersebut memiliki peran dalam kehidupan manusia. Sama seperti cerita kekeringan padi tadi.
Setelah manusia mampu mengidentifikasi penyebab kekeringan, manusia mulai memikirkan cara untuk menghasilkan padi yang lebih baik, yang dapat tahan pada kondisi dengan ketersediaan air yang rendah. Akhirnya melalui cabang ilmu biologi, yakni rekayasa genetika, manusia dapat menggabungkan gen padi yang unggul dengan gen padi yang biasa dengan menggunakan plasmid bakteri sebagai resipennya. Apabila gen padi unggul tadi dapat berekspresi maka, munculah padi unggul dengan jenis baru, dan dapat dikembangkan lagi keunggulannya itu. Hal ini tentu bermanfaat bagi peningkatan produk pertanian. Demikianlah irama ilmu pengetahuan yang senantiasa berdinamika dalam dinamika kehidupan manusia.
Ilmu telah membantu manusia menafsirkan alam semesta, bahkan membantu manusia dalam meramalkan suatu kejadian berdasarkan pola-pola yang tampak. Namun, banyak pula yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu menghasilkan dampak positif, melainkan juga terdapat dampak negatifnya. Seperti padi hasil rekayasa genetika tadi, dinilai dapat mengurangi varietas padi. Sehingga padi yang tidak unggul akan punah, karena tidak dikembangkan. Melalui hal ini perlulah pemahaman yang lebih bijak, bahwa ilmu merupakan alat yang dapat digunakan sesuai tujuannya.
Kutipan bijak mengenai ilmu tampaknya cocok sebagai penutup pada pembahasan batasan ilmu ini yakni, menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup mata terhadap semua kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakan ilmu, hal ini menunjukan bahwa disini pun kita gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat ilmu yang sesungguhnya. Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu, di atas dasar itu mereka menerima ilmu sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana, serta menjadikan dia bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Bersama-sama pengetahuan lainnya dan bersama pelengkap kehidupan dan memenuhkan kebahagiaan kita[18].
D. Kebenaran Ilmiah
Pada dasarnya ilmu pengetahuan menjelaskan segala sesuatu dengan maksud untuk mencari kebenaran. Kebenaran dalam wilayah ilmu pengetahuan ini memiliki berbagai pandangan yang akhirnya menghasilkan berbagai aliran pemikiran. Aliran-aliran tersebut berasal dari hasil pemikiran para ahli yang berupaya mencari tahu kebenaran yang dimaksud oleh ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya kebenaran telah menjadi kajian berpikir sejak lama. Plato (427-347) dan Aristoteles (384-322) telah mencoba merumuskan kebenaran ini. Teori kebenaran yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah teori koherensi. Teori koherensi beranggapan bahwa suatu hal dikatakan benar berdasarkan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya. Sehingga, apabila ada pernyataan “semua hewan menyusui masuk ke dalam kelas mamalia” adalah pernyataan yang benar. Maka, pernyataan bahwa paus menyusui dan ia termasuk ke dalam kelas mamalia” adalah pernyataan yang benar karena pernyataan-pernyataan yang ada saling berkaitan dan menunjukan kebenaran. Walaupun yang kita tahu paus adalah ikan, namun karena ia menyusui ia tidak masuk ke dalam kelas Pisces melainkan Mamalia.
Selanjutnya teori kebenaran dikembangkan oleh Bertrand Russell (1872-1970) dengan teori koherensi. Berdasarkan teori koherensi, suatu hal dianggap benar apabila dapat diuji dengan kesesuaian obyek yang ada. Sebagai contoh, apabila terdapat pernyataan “ayam berkembang biak dengan bertelur”. Maka pernyataan dikatakan benar karena secara faktual, ayam memang berkembang biak dengan bertelur dan ditemukan pula telur ayam itu. Demikian teori kebenaran yang umumnya digunakan.
Teori koherensi dan korespondensi bermanfaat dalam memahami suatu hal karena dilatarbelakangi oleh metode ilmiah. Sehingga kebenaran dalam wilayah ilmu pengetahuan merupakan kebenaran ilmiah yang berangkat melalui metode ilmiah. Metode ilmiah ini diidentikan sebagai cara yang tepat untuk memahami sesuatu, karena didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yakni rasional, empiris dan sistematis.
Pada perkembangannya banyak ahli-ahli yang masih mencoba merumuskan kebenaran itu, yang kemudian melahirkan berbagai aliran seperti empirisme, idealisme, eksistensialisme dan pragmatisme. Teori-teori tersebut akan coba untuk dibahas berikut ini:
1. Filsafat Empirisme
Suatu hal dianggap benar menurut teori ini, jika suatu hal tersebut dapat dialami oleh semua orang atau adanya sebuah bukti otentik yang berdasarkan data yang bersifat umum. Aliran Empeirisme meletakkan ilmu dan kebenaran yang melekat pada objek tidak peduli siapa yang memandang. Sehingga pengetahuan itu hanya didapatkan melalui pengalaman, eksperimen atau suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk mendapatkan sebuah respon.
Pengalaman ini dibantu oleh alat-alat indera. Sehingga pengetahuan hanya didapatkan jika alat-alat indera menerima suatu hal sebagai pengalamannya.
Sebagai contoh: Api itu panas. Hal ini dapat diketahui oleh semua orang karena ketika tangannya terbakar, ia akan merasakan panas. Maka api itu panas adalah benar, karena semua orang dapat mengalami rasa panas ketika kulit sebagai indera peraba terkena api, tidak peduli seberapa besar kemampuan tubuh sesesorang menahan rasa panas, akan tetapi ukuran panas dapat dibuat agar subjektifitas dari rasa panas dapat dihilangkan. Tokoh dari aliran empirisme ini adalah John Locke.
2. Filsafat Idealisme
Immanuel Kant merupakan tokoh dalam teori ini. Idealisme sering disebut sebagai aliran romantik. Kant dalam sistemnya memberi keterangan tentang kemampuan budi mencapai pengetahuan: ia mengatakan sampai dimana kemampuan budi itu. Dengan terang dijelaskan oleh Emanual Kant, bahwa dengan budi murni orang tak mungkin mengenal apa yang ada diluar pengalaman, karena pengetahuan budi itu selalu mulai dengan pengalaman: metafisika murni tak mungkin![19].
Secara sederhana dipahami bahwa idealisme berkaitan dengan pikiran manusia sehingga sesuatu dinyatakan benar jika dapat terpikirkan oleh manusia. Aliran ini dianggap terlalu subyektif dan romantik karena budi setiap orang itu berbeda-beda. Hal yang ingin diterankan Emanuel Kant dalam aliran ini bukanlah Subjektifitas yang cenderung egosentris, akan tetapi pertimbangan baik dan benar mengenai suatu perkara belum tentu bisa didapatkan melalui pengalaman.
3. Filsafat Eksistensialisme
Eksistensi membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertatanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir.
Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah peranan eksistensia. Olehnya segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, berperan. Tanpanya, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan[20] Sehingga dapat dipahami kebenaran menurut eksistensi adalah apabila sesuatu itu ada, eksis meskipun saat itu ia tidak benar-benar ada di tempat kita memikirkannya.
4. Filsafat Pragmatisme
John Dewey merupakan tokoh yang ada pada teori ini. Pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu adalah benar jika memiliki fungsi secara praktis. Sebagai contoh: metode pembelajaran berbasis kearifan lokal adalah metode yang tepat untuk belajar Biologi. Karena melalui metode ini, siswa akan lebih mampu memahami materi ajar biologi dan memperoleh hasil
belajar yang bagus karena didasarkan pada kearifan lokal yang ada di sekitarnya. Maka dalam pragmatisme, metode tersebut dianggap benar karena memiliki fungsi untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa.
Pandangan Pragmatisme cenderung diarahkan pada kemoersialisme, yang menitikberatkan pada keuntungan tidak peduli keuntungan yang didapatkan berbentuk materi, pengalaman atau ilmu pengetahuan namun Jhon Dewey menganggap bahwa perkembangan ilmu filsafat yang hanya berlandaskan rasionalisme yang bercampur dengan idealisme akan menghasilkan kekeliruan yang berbahaya jika perkembangan yang dialami penganut ke arah Radikal.
Catatan Kaki:
[1] Makhluk hidup dalam biologi terbagi dalam lima kingdom. Secara biologis, manusia masuk ke dalam kingdom animalia karena multiseluler, sel-sel terspesialisasi, eukariotik, heterotof, memerlukan oksigen dalam respirainya, reproduksi seksual.
[2] K.F. Vaas, Darwinisme dan Ajaran Evolusi (Jakarta: PT Pustaka Rakyat,1956), hlm. 117.
[3] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: Bumi aksara, 2003), hlm.5.
[4] “Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)”Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebagai Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm. 104-105.
[5] August Comte dikenal sebagai filsuf Perancis karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Positivisme ini yang mempengaruhi pikirannya. Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Positivisme hanya membetasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. (http://filsafat.kompasiana.com/2013/11/30/auguste-comte–615312.html)
[6] Jujun, op cit., hlm. 25.
[7] Nenek moyang kita pada masa lalu telah berupaya membangun pengetahuannya berdasarkan pengalamannya memahami kondisi alam semesta. Dengan cara yang tidak juga mudah karena tentu dilakukan dengan cara pengamatan dan perhitungan yang sederhana sampai akhirnya manusia mampu menelaah kondisi alam walaupun dengan cara tahayul. Sehingga dapat dipahami bahwa sejak dahulu, masyarakat telah mencoba mencari tahu sebab-sebab sesuatu terjadi dan apa yang pantas dilakukan untuk mencegah hal buruk terjadi. Kemudian dengan cara berpikir yang tahayul tersebut, mereka mengkaitkan gejala alam dengan sifat-sifat manusia yang termanifestasikan dalam bentuk berbagai dewa lengkap dengan cerita-cerita mitosnya. Dengan demikian, mulailah lahir ritual-ritual yang bermaksud memuja dewa guna menjaga kestabilan alam semesta.
[8] Dalam masyarakat pertanian, melimpahnya hasil panen berkaitan erat dengan kesuburan yang identik dengan perempuan. Dewi Sri muncul sebagai gambaran dari dewi kesuburan dalam masyarakat Jawa. Kesuburan dikaitkan dengan perempuan karena fungsi produksi dan reproduksinya. Dalam kebudayaan agraris, perempuan dianggap melahirkan segala sesuatu di dunia ini. Karena itulah muncul konsepsi pemujaan dewi ibu (mother goddess) dalam masyarakat agraris. Dewi ibu berperan sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan, mengendalikan bahan makanan (padi), mengetur kehidupan, kekayaan dan kemakmuran” Sumintarsih dalam Muhammad Sandy Utsman, Dewi Sri dan Masyarakat Agraris Jawa (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, 2012).
[9] Bentuk ritual yang dilakukan masyarakat Jawa adalah upacara ketika menabur benih, upacara ketika menyemai, upacara proses menandur, upacara Tingkep Tandur, yang merupakan upacara yang dilakukan ketika gabah mulai tumbuh dan berisi, kemudian upacara wirit/ methik yang dilakukan pada saat panen. Selain upacara-upacara yang dilakukan, masyarakat Jawa juga menghormati Dewi Sri lewat adanya pemujaan terhadap Dewi Sri di Candi Barong dan juga di dalam rumah adat orang Jawa yang pada umumnya menyediakan tempat khusus untuk pemujaan sang Dewi.
[10] Pada suatu waktu terkadang petani mengalami gagal panen. Dalam pertanian banyak faktor yang mempengaruhi produksi tani, seperti: serangan hama, ketersediaan air, pergantian musim sebagai faktor eksternal pertanian, selain itu jenis dan sifat tanaman yang juga mempengaruhi cocok atau tidaknya di tanam di tanah tersebut.
[11] Jujun, op cit., hlm.35.
[12] Burhanudin Salam, op cit., hlm.10.
[13] Ibid., hlm. 14.
[14] Pemanasan global merupakan peristiwa meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi. Fenomena ini banyak diperbincangkan beberapa tahun belakangan ini. Karena dapat dirasakan di hampir seluruh wilayah yang ada di permukaan bumi. Seperti, meningkatnya suhu panas di bumi, naiknya permukaan air laut, intensitas cuaca yang ektrem dan tidak terprediksikannya perubahan musim. Setelah melalui penelitian akhirnya diketahui bahwa penyebab dari pemanasan global ini adalah menumpuknya gas-gas emisi yang berasal dari aktivitas manusia. Pemanasan global ini menyebabkan kerugian bagi manusia sendiri, seperti terpengaruhnya hasil pertanian, pencarian kutub, kebakaran hutan pada lahan gambut, dan masih banyak lagi.
[15] Kemajuan di bidang biologi sel dan molekuler ditandai dengan diketahuinya gensebagai unsur yang mempengaruhi pewarisan sifat pada seluruh makhluk hidup. Kemudian, biologi molekuler mengetaui bahwa plasmid bakteri dapat digunakan sebagai resipen untuk mereaksikan gen antar makhluk hidup. Penemuan inilah yang kemudian dikembangkan guna mendapatkan tanaman dengan varietas unggul melalui rekayasa genetika. Rekayasa genetika pada pertanian sudah banyak dilakukan guna memberikan solusi pada masalah-masalah pertanian.
[16] Jujun,. op cit., hlm.56.
[17] Ibid., hlm.105.
[18] Ibid., hlm. 140.
[19] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm.114
[20] Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2012), hlm.363-364.