Eureka Pendidikan – Objek kajian penelitian kualitatif sering bersifat kasuistik. Peneliti tidak mementingkan generalisasi. Oleh karena itu, sampel ditentukan secara purposif (sengaja/dengan pertimbangan) sehingga sampel penelitian tidak perlu mewakili populasi. Adapun pertimbangan penelitian sampel bukan berdasarkan pada aspek keterwakilan populasi didalam sampel. Pertimbangannya lebih pada kemampuan sampel (informan) untuk memasok informasi selengkap mungkin kepada peneliti.
Sampel yang digunakan dalam metode penelitian kualitatif adalah sampel kecil, tidak representatif, purposive (snowball), dan berkembang selama proses penelitian. Nasution (1992) mengungkapkan bahwa metode kualitatif sampelnya sedikit dan dipilih menurut tujuan (purpose) penelitian. Penelitian ini sering berupa studi kasus atau multi kasus.
Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi dinamakan situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity). Berikut ini akan dijelaskan mengenai penggunaan sampel pada penelitian kualitatif secara rinci.
Penggunaan Snaw Ball Sampling
Sampling adalah teknik menarik sampel dari populasi. Populasi yakni sejumlah unit analisis yang memiliki karakteristik yang sama sesuai kriteria. Snow ball merupakan salah satu jenis teknik sampling, karena dengan menggunakan teknik tersebut peneliti selain memperoleh informasi atau data detail, juga jumlah responden-penelitian.
Sebagai suatu konsep, Snowball sampling merupakan pelabelan (pemberian nama) terhadap suatu aktivitas ketika peneliti mengumpulkan data dari satu responden ke responden lain yang memenuhi kriteria, melalui wawancara mendalam dan berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi, terjadi replikasi atau pengulangan variasi informasi, mengalami titik jenuh informasi.
Maksudnya informasi yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama saja dengan apa yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama saja dengan apa yang diberikan oleh para informan sebelumnya. Karena digunakannya wawancara mendalam ini maka, penelitian kualitatif subyek penelitiannya tidak lebih dari 50 responden.
Williamson et.al (1982: 184-185), “…the typical intensive interview study is based on fewer than fifty respondents, where as the typical survey is based on several hundreds. Intensive interviewing (in-depth interview) studies are generally based on small, non probability samples”.
Kurang lebih artinya, ciri khas dari wawancara mendalam didasarkan pada jumlah responden yang kurang dari 50 responden, sedangkan ciri dari penelitian survey berkisar ratusan responden. Wawancara mendalam berasal dari jumlah yang kecil, non probability sampling.
Purposive Sampling
Purposive sampling termasuk pada kelompok sampling non-probability. Terlalu sederhana atau singkat jika purposive sampling diberi batasan sebagai penarikan sampel dari populasi sesuai dengan tujuan penelitian, apalagi jika dipersingkat lagi dengan penarikan sampel bertujuan, sehingga menjadi pengertian yang tidak berguna, yang kurang memberi pemahaman. Tidak ada penarikan atau seleksi sampel yang tidak disesuaikan dengan tujuan penelitian. Karena itu konsep atau pemberian nama dengan “sampling purposive” dirasakan kurang tepat. Karena sampling acak yang probability pun juga purposif.
Bouma Gary D. (1993: 119) dalam bukunya The Research Process, edisi revisi menyatakan: “Purposive sampling. Some researchers believing that they can, using judgement or intuition, select the best people or groups to be studied”, yang berarti pada purposive sampling, peneliti mempercayai bahwa mereka dapat menggunakan pertimbangannya atau intuisinya untuk memilih orang-orang atau kelompok terbaik untuk dipelajari atau dalam hal ini memberikan informasi yang akurat. Kelompok dengan sebutan “the typical and the best people” yang dipertimbangkan oleh peneliti untuk dipilih sebagai subjek penelitian oleh Williamson, at.al. (1982: 107) merupakan “respondents who are hard to locate and crucial to the study”, para responden yang dinilai akan banyak memberikan pengalaman yang unik dan pengetahuan yang memadai yang dibutuhkan peneliti.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dipahami bahwa purposive sampling memiliki kata kunci: kelompok yang dipertimbangkan secara cermat (intuisi) dan kelompok terbaik (yang dinilai akan memberikan informasi yang cukup), untuk dipilih menjadi responden penelitian. Karena itu purposive sampling dikenal juga dengan sebutan judgemental sampling. Dikatakan demikian karena perlu adanya pertimbangan yang cermat dalam memilih kelompok kunci sebagai sampel. Ada juga yang memberi nama criterion-based selection sampling. Karena seleksi sampelnya didasarkan pada kriteria tertentu yang khas. Glasser dan Strauss (1967, dalam Lincoln dan Guba, 1985) menanamkan “theoretical” sampling, karena diperlukan data yang detail dari responden yang punya kompetensi dan kapasitas (cerita detail) sebagai tempat proses lahirnya suatu teori.
Purposive Sampling Dilanjutkan ke Snow Ball Sampling
Perlu diingat kembali bahwa purposive sampling hanya dapat digunakan ketika peneliti telah melakukan studi penjajakan dengan baik dan lama, serta mengetahui karakteristik responden sehingga dapat mengetahui the typical and the best people.
Dalam penelitian kualitatif tidak hanya bisa hanya berhenti hanya di purposive sampling, karena dengannya hanya diperoleh jumlah responden yang memenuhi kriteria, bukan responden-penelitian. Pengumpulan data dengan intensive-interview harus dilakukan melalui wawancara-mendalam dari satu responden bergulir ke responden lain yang memenuhi kriteria sampai mengalami titik jenuh (snow ball sampling).
Sumber Pustaka:
Patilima, Hamid. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press
tolong semua sitasi dituliskan di sumber bacaan ya kak, karena saya kesulitan menemukan sumber bacaan yang digunakan